Sanad guru jauh lebih kuat… Hingga kini kita Ahlussunnah wal Jamaah lebih berpegang kepada silsilah guru (yaitu ia mempunyai riwayat guru-guru yang bersambung hingga Rasul saw dan kau betul-betul mengetahui bahwa ia benar-benar memanut gurunya)… kita berpedoman kepada guru-guru yang bersambung sanadnya kepada Nabi saw ataupun kita berpegang pada buku yang penulisnya mempunyai sanad guru hingga Nabi saw… Ia (sanad guru) adalah bagai rantai emas terkuat yang tak bisa diputus dunia dan akhirat, jika bergerak satu mata rantai maka bergerak seluruh mata rantai hingga ujungnya, yaitu Rasulullah saw.

Saat di pesantren Al-Khairat itulah
pertama kalinya ia bertemu Habib Umar bin Hafidz, guru utamanya
dikemudian hari. Kepada sang guru, ia menekuni pelajaran selama empat
tahun, yaitu di Ma’had Darul Mushthafa, Tarim Hadhramaut, Yaman Selatan.
Mau Jadi Apa?
Semasa kecil, ia seorang anak yang sangat dimanja oleh ayahnya. Ia pun sampai merasa bahwa sang ayah lebih memanjakannya lebih dari anaknya yang lain. Namun, beranjak remaja, justru sang anak kesayangan ini yang putus sekolah, sementara kakak kakaknya dapat melanjutkan pendidikannya hingga sampai wisuda. Orangtuanya bangga pada mereka, tapi, sebagaimana yang sempat dituturkannya sendiri, mereka kecewa kepadanya. “Karena saya malas sekolah…,” kisahnya suatu ketika.
Semasa kecil, ia seorang anak yang sangat dimanja oleh ayahnya. Ia pun sampai merasa bahwa sang ayah lebih memanjakannya lebih dari anaknya yang lain. Namun, beranjak remaja, justru sang anak kesayangan ini yang putus sekolah, sementara kakak kakaknya dapat melanjutkan pendidikannya hingga sampai wisuda. Orangtuanya bangga pada mereka, tapi, sebagaimana yang sempat dituturkannya sendiri, mereka kecewa kepadanya. “Karena saya malas sekolah…,” kisahnya suatu ketika.
Namun demikian, ia rajin menghadiri
majelis majelis ilmu. Disamping itu, ia juga menghabiskan waktu di hari
hari mudanya dengan bersholawat seribu kali siang dan malam, berdzikir
beberapa beribu kali, menjalankan puasa Nabi Daud As, dan sholat malam
berjam-jam. “(Tapi) saya pengangguran, dan sangat membuat ayah bunda
malu,” ujarnya.
“Almarhum Ayah sangat malu. Beliau
mumpuni dalam agama dan mumpuni dalam kesuksesan dunia. Beliau berkata
pada saya, ‘Kau ini mau jadi apa? Jika mau agama, belajarlah dan
tuntutlah ilmu sampai ke luar negeri. Jika ingin meneladani ilmu dunia,
tuntutlah sampai ke luar negeri…’
Namun saya sangat mengecewakan ayah bunda. Boleh dikata, saya ini dunia tidak, akhirat pun tidak,” katanya.
Ketika ayahnya pensiun, ibundanya membangun losmen kecil di depan rumah, yang hanya menyediakan lima kamar dan hanya disewakan pada orang yang baik baik, untuk biaya nafkah keluarga, dan ketika itu ia menjadi pelayan losmen milik ibundanya tersebut.
Ketika ayahnya pensiun, ibundanya membangun losmen kecil di depan rumah, yang hanya menyediakan lima kamar dan hanya disewakan pada orang yang baik baik, untuk biaya nafkah keluarga, dan ketika itu ia menjadi pelayan losmen milik ibundanya tersebut.
Setiap malam ia jarang tidur. Ia banyak
termenung di kursi resepsionis yang hanya berupa meja kecil dan kursi
kecil mirip di pos satpam, sambil menanti tamu. Sambil menunggu losmen,
ia habiskan malam malamnya itu dengan bertafakkur, merenung, berdzikir,
menangis, dan sholat malam. Sebagai pelayan losmen, tugasnya adalah
menerima tamu, memasang seprai, menyapu kamar, membersihkan toilet,
membawakan makanan dan minuman pesanan tamu, seperti teh, kopi, air
putih, atau nasi goreng buatan sang bunda, jika tamu memesannya.
Sampai ketika semua kakaknya lulus
sarjana, ia tergugah untuk mondok di Pesantren Al-Kifahi Al-Tsaqafi,
asuhan Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf, Bukit Duri, Jakarta Selatan,
dan juga belajar di Ats-Tsaqafah Al-Islamiyah. Namun disana ia hanya
sampai sekitar dua bulan, karena sering sakit sakitan. Penyakit lamanya,
yaitu asma, sering kambuh.
“Ayah makin malu, bunda pun makin sedih…”
ujar Habib Munzir mengenang masa masa itu. “Lalu saya ambil saja kursus
bahasa Arab di As-Salafi, pimpinan Habib Bagir Al-Attas.” Ia pun harus
pulang pergi Jakarta Cipanas, yang saat itu ditempuh dalam dua-tiga jam,
dengan ongkos sendiri, dua kali dalam sepekan. Ongkos perjalanan adalah
hasil dari pekerjaannya di losmen tersebut.
Berjumpa Guru Mulia
Ia
juga selalu menyempatkan diri hadir di Majelis Maulid Nabi Saw ditempat
Habib Umar bin Hud Al-Attas, yang saat itu di Cipayung. Jika tak ada
ongkos, ia menumpang truk. Karenanya, sering kali ia sampai harus
berhujan hujanan. Tak jarang ia datang ke Majelis Maulid malam Jum’at
itu dalam keadaan basah kuyup, sampai sampai ia pernah diusir oleh
penjaga di rumah Habib Umar bin Hud, “Karena karpet tebal dan mahal itu
sangat bersih, tak pantas saya yang kotor dan basah menginjaknya. Saya
terpaksa berdiri saja berteduh dibawah pohon sampai hujan berhenti dan
tamu tamu berdatangan. Saya duduk di luar teras saja, karena baju basah
dan takut dihardik sang penjaga,” ujar Habib Munzir dalam salah satu
tulisannya.

Ia sering pula berziarah ke Luar Batang,
makam Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus. Suatu ketika ia datang kesana
dan lupa membawa kopiah, karena datang langsung dari Cipanas. “Ya
Allâh, aku datang sebagai tamu seorang wali-Mu. Tak beradab jika aku
masuk ziarah tanpa berkopiah, tapi uangku pas pasan, dan aku lapar.
Kalau beli kopiah, aku tak makan, dan ongkos pulangku kurang,” demikian
hatinya mengucap saat itu.
Akhirnya ia memutuskan membeli kopiah.
Pilihannya yang berwarna hijau, karena itu yang termurah saat itu di
emperan penjual kopiah. Usai membelinya dan masuk berziarah, sambil
membaca Ya-Sin untuk dihadiahkan kepada shahibul maqam, ia menangisi
kehidupannya yang penuh dengan ketidakmenentuan, mengecewakan orangtua,
sering menghindar dari lingkungan yang terkadang mencemoohnya, “Kakak
kakakmu semua sukses, ayahmu lulusan Makkah dan juga New York
University. Kok anaknya centeng losmen…”
Dalam tangisan itu, hatinya kembali
berucap, “Wahai wali Allah, aku tamumu, aku membeli peci untuk beradab
padamu, hamba yang shalih di sisi Allâh, pastilah kau dermawan dan
memuliakan tamu, aku lapar dan tak cukup ongkos pulang.”
Saat itu, tiba tiba datang serombongan
kawannya di pesantren Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Tampak mereka
senang berjumpa dengannya. Ia pun ditraktir makan. “Saya langsung
teringat, ini berkah saya beradab di makam wali Allâh,” ujarnya.
Ia pun ditanya, dengan siapa dan mau
kemana, ia katakan bahwa ia sendiri dan mau pulang ke kerabat ibunya di
bilangan Pasar Sawo, Kebon Nanas. Mereka berkata, “Ayo bareng saja, kami
antar sampai Kebon Nanas.” Ia semakin bersyukur kepada Allâh, karena
memang ongkosnya tak ‘kan cukup jika pulang ke Cipanas. Hari sudah larut
malam ketika ia sampai di kediaman bibi dari ibunya. Keesokan harinya
ia diberi uang cukup untuk pulang ke Cipanas.
Tak lama dari kejadian itu, ia masuk
Pesantren Al-Khairat, asuhan Habib Nagib bin Syaikh Abubakar, di Bekasi
Timur. Di pesantren itu, setiap kali majelis pembacaan Maulid Nabi
digelar dan saat Mahallul Qiyam dibacakan, ia menangis. Ia berdoa kepada
Allâh bahwa ia rindu pada Rasulullah Saw. Ia pun ingin dipertemukan
dengan guru yang paling dicintai Rasul Saw.
Dalam beberapa bulan saja setelah ia
mondok disana, tibalah Habib Umar bin Hafidz ke pondok itu. Itu adalah
kunjungan pertama Habib Umar ke Indonesia, yaitu pada tahun 1994.
Pertemuannya dengan Habib Umar membawa hikmah yang luar biasa, yang
kemudian membawa langkah kakinya menuju negeri leluhurnya, Tarim,
Hadhramaut, Yaman Selatan, tempat Habib Umar membina ma’hadnya, Darul
Mushthafa.
Adab kepada Guru
Singkat kisah, sesampainya di Tarim, yaitu di kediaman Habib Umar, sang guru mengabsen semua nama yang ikut dalam rombongan bersamanya saat itu. Ketika sampai pada namanya yang dipanggil, sesaat Habib Umar memandangnya, lalu tersenyum indah.
Tak lama setelah kedatangan mereka, yang
merupakan generasi pertama santri Darul Musthafa, pecahlah perang antara
Yaman Utara dan Yaman Selatan. Pasokan makanan berkurang, makanan
sulit, listrik mati, mereka pun harus berjalan kaki ke mana mana dan
menempuh jalan sekitar tiga-empat kilometer untuk aktivitas ta’lim.
Biasanya, menggunakan mobil milik Habib Umar, namun dimasa perang
pasokan bensin sangat tidak memadai.
Suatu hari Habib Umar bin Hafidz menatapnya dan kemudian berkata kepadanya, “Namamu ‘Munzir’ – pemberi peringatan.”
Ia mengangguk.
Lalu sang guru berkata lagi kepadanya, “Kelak, kau akan memberi peringatan pada jama’ahmu.”
Ia termenung.
Setelah kejadian itu, sering kali terngiang ucapan sang guru itu, “Kelak, kau akan memberi peringatan pada jama’ahmu.”
Ia mengangguk.
Lalu sang guru berkata lagi kepadanya, “Kelak, kau akan memberi peringatan pada jama’ahmu.”
Ia termenung.
Setelah kejadian itu, sering kali terngiang ucapan sang guru itu, “Kelak, kau akan memberi peringatan pada jama’ahmu.”
“Saya akan punya jama’ah? Saya miskin
begini, bahkan untuk mencuci baju pun tak punya uang untuk beli sabun
cuci,” Kisah Habib Munzir suatu ketika.
Pernah ia ingin mencucikan baju salah
seorang temannya agar mendapat upah mendapat bagian sabun cucinya.
Sayangnya, ia malah mendapat hardikan, “Cucianmu tidak bersih, orang
lain saja yang mencuci baju ini.” Ia pun terpaksa mencuci dengan
menggunakan air bekas mengalirnya air cucian mereka. Air sabun bekas
cucian yang mengalir itulah yang ia gunakan untuk mencuci bajunya.
Hari demi hari Habib Umar semakin sibuk.
Ia memilih untuk banyak berkhidmat pada sang guru. Ia pun lebih memilih
membantu segala permasalahan santri, makanan mereka, minuman mereka,
tempat menginap dan segala masalah rumah tangga santri, sampai harus
meninggalkan pelajaran demi bakti pada sang guru. Rupanya, itu adalah
kiatnya untuk lebih sering berjumpa dengan gurunya tersebut.
Ia turut membersihkan rumah sang guru,
membantu membawakan sandalnya, terus berdekatan dengannya agar jika sang
guru perlu sesuatu ia menjadi budaknya (demikian Habib Munzir
menyebutnya sendiri) yang paling dekat yang siap diperintah. Ia terus
menempel pada gurunya, sampai sang guru masuk ke rumahnya larut malam.
Dan sebelum sang guru keluar menuju sholat Shubuh di masjid, ia sudah
berdiri mematung di depan pintu sang guru dengan penuh kerinduan, atau
sambil duduk. Begitu sang guru keluar, ia segera menyalami nya dan
menjadi pengiringnya sampai masjid. Demikian aktivitasnya sebagai santri
yang paling sering ia lakukan.
Suatu ketika, Habib Umar sudah selesai
menerima tamu tamunya di waktu dhuha. Ia ikut sholat dhuha bersama
gurunya, tapi dengan lebih mempercepat, kemudian segera duduk lagi tak
jauh dari duduknya Habib Umar. Habib Umar pun paham, ia akan tetap
disana sebelum sang guru masuk rumah.
Ketika itu Habib Umar menoleh kepadanya, “Apa yang sedang kau dambakan?”
Kepalanya menunduk, lalu berkata, “Ridho mu, Tuan Guru.”
Kepalanya menunduk, lalu berkata, “Ridho mu, Tuan Guru.”
Habib Umar kemudian mengangkat kedua
tangannya ke langit dan menengadahkannya. Lalu sang guru tersenyum,
kemudian masuk ke dalam rumahnya.
Tahun 1998, ia dan kawan kawannya,
generasi pertama santri Darul Musthafa, kembali ke tanah air. Di negeri
kelahirannya ini, ia membangun rintisan dakwahnya dari nol, hingga
akhirnya berkibarlah bendera Majelis Rasulullah SAW, sebagai salahsatu
syiar majelis kaum Ahlussunnah Waljama’ah, yang banyak membawa kebaikan,
khususnya bagi para pemuda dan pemudi Islam Ibu Kota Jakarta.
Ujian Fisik
Banyak
ujian fisik dihadapi Habib Munzir dimasa masa awal membangun Majelis
Rasulullah SAW maupun di masa masa kemudiannya saat ia mengarungi medan
dakwah yang begitu luas, bahkan hingga akhir hayatnya. Perjuangan yang
harus dihadapinya tidaklah mudah.

Di masa masa awal itu, suatu ketika, saat
ia tengah dalam perjalanan ke sebuah tempat, penyakit asma yang
dideritanya kambuh. Padahal disakunya tidak ada uang meski hanya
sepeser. Ia mencoba mengetuk pintu rumah seseorang yang dikenalnya.
Ternyata rumah tersebut kosong, padahal asmanya semakin berat. Untuk
minum obat yang ia miliki jelas tidak mungkin, karena perutnya masih
kosong.
Dengan hati berat, Habib Munzir
meninggalkan rumah tersebut. Distopnya sebuah taksi yang kebetulan lewat
di dekatnya. Tujuannya ke rumah seorang kerabat yang ia kenal. Ia nekat
menumpang taksi, karena serangan asma yang dirasakannya semakin parah.
Sedangkan masalah ongkos taksi, ia berharap akan dibayar teman yang
tengah ditujunya itu. Ditengah perjalanan, saking beratnya serangan
penyakit tersebut, ia pingsan. Atas kehendak Allâh, hati pengemudi taksi
itu terbuka. Sang pengemudi membawanya ke rumah sakit.
Sampai disana, ia setengah sadar. Ia
takjub, karena dirinya langsung mendapatkan penanganan, padahal saat itu
ia tengah khawatir dengan biaya yang bakal ditanggungnya.
“Allâh benar benar telah menggerakkan
hati hamba-Nya. Sampai saya keluar rumah sakit, biaya yang digunakan
untuk pengobatan tersebut sudah ada yang menanggungnya.” kata Habib
Munzir tanpa menyebutkan siapa yang membiayai pengobatan itu.
“Adik saya itu sejak kecil punya asma
kronis. Seminggu bisa terserang tiga hingga empat kali, dan itu parah,”
ujar Habib Nabiel, kakaknya.
Ketika asma Habib Munzir kambuh, kakaknya
itu sering melihat adiknya tak bisa berbicara, mukanya pucat,
berkeringat, dan tak bisa makan. Namun sang adik sangat sabar serta tak
pernah mengeluh. “Beliau memang sejak dari kecil diberikan cobaan.
Dengan kondisi seperti itu tentu berat,” Ujar Habib Nabiel.
Saat remaja, kata Habib Nabiel, adiknya
memilih masuk pondok, bukan ke sekolah umum SMA. Pada suatu saat,
adiknya mengalami sakit di pondok. Namun ia tak pernah memberi tahu ke
keluarga. Memang, jika masuk rumah sakit, ia tak pernah memberi tahu.
“Saat dia sakit, nggak mau memberi tahu
kami. Pernah dia tiba tiba pulang diantar orang pesantren dengan koreng
di badannya. Dia katanya nggak mau merepotkan keluarga,” kenang Habib
Nabiel.
Menurut kakak sulungnya itu, Habib Munzir
tipe orang yang tak mau mengeluh dan tak mau merepotkan keluarga. Rasa
sakit yang dialaminya hanya dipendam sendiri. “Dia tak ingin keluarganya
sedih.” ujarnya. Penyakit Habib Munzir bertambah ketika ia mulai
menjalani kesibukan. Ia sering mengalami sakit kepala yang parah hingga
pingsan. Bahkan, jika kepalanya itu sakit, Habib Munzir kerap terlihat
seperti orang marah. Padahal, sehari hari Habib Munzir orang yang sabar
dan halus.
Namun, lagi lagi Habib Munzir selalu
memendam rasa sakitnya dan memilih tak mengeluh. “Yang beliau pikirkan
adalah bagaimana menghidupkan majelis yang sudah sebesar itu. Beliau
berusaha keras, bahkan kegiatannya melebihi kemempuannya. Beliau
mengorbankan segalanya untuk dakwah, dan cita citanya tinggi, begitu
pula kesabarannya,” Ujar Habib Nabiel.
Pejuang Dakwah
Ahad petang, 15 September 2013, kabar tersiar, Habib Munzir wafat, sejumlah orang dekatnya, termasuk keluarganya, mengabarkan, ia wafat dalam keadaan tersenyum. Tersenyum saat wafat mengingatkan kita pada jenazah para syuhada’. Dari sebuah hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, salahsatu keistimewaan syuhada’ adalah diperlihatkan tempat tinggalnya di syurga. Siapa yang tak berbahagia ketika diperlihatkan bahwa tempat tinggalnya nanti adalah surga? Dan kebahagian pada saat menyongsong maut itu memancar dalam wajah dan mengembangkan bibirnya. Jadilah ia tersenyum.
Ahad petang, 15 September 2013, kabar tersiar, Habib Munzir wafat, sejumlah orang dekatnya, termasuk keluarganya, mengabarkan, ia wafat dalam keadaan tersenyum. Tersenyum saat wafat mengingatkan kita pada jenazah para syuhada’. Dari sebuah hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, salahsatu keistimewaan syuhada’ adalah diperlihatkan tempat tinggalnya di syurga. Siapa yang tak berbahagia ketika diperlihatkan bahwa tempat tinggalnya nanti adalah surga? Dan kebahagian pada saat menyongsong maut itu memancar dalam wajah dan mengembangkan bibirnya. Jadilah ia tersenyum.
Jika untuk para syuhada’ penjelasannya
seperti itu, bagaimana dengan ulama dan para da’i seperti Habib Munzir,
yang tidak meninggal dalam kondisi perang? Wallahu a’lam bishshowab.
Namun memang bisa saja seseorang yang tidak meninggal ditengah medan
jihad (perang) tapi matinya tergolong syahid. Rasulullah saw pernah
bersabda, “Barang siapa mengharapkan mati syahid dengan sungguh sungguh,
Allâh akan memberikannya meskipun ia mati di atas tempat tidur.” (H.R
Muslim)
Betapapun, tidak ada yang meragukan
betapa Habib Munzir memang seorang pejuang dakwah. Ia wafat saat masih
mengarungi samudera dakwah yang luas, sebagai salah seorang pejuang
sejati.
“Habis umurnya untuk memikirkan umat.
Pada saat acara acara besar untuk umat, pikiran dan fisik beliau sampai
lemah. Dalam keadaan pakai kursi roda, beliau mengisi acara, bahkan
pakai tempat tidur beliau tetap mengisi acara,” Kata Habib Nabiel.
“Penyakit beliau banyak, dikepala, tulang
belakang, asma, bahkan sampai ada cairan di perut, tapi Alhamdulilah
sudah berhenti,” Ujar kakak tertua dari lima bersaudara ini.
Keesokan harinya, Senin pagi, sekitar
pukul 10, jenazahnya dibawa ke Masjid Al-Munawwar, Pancoran, Jakarta
Selatan, untuk disholatkan. Masjid itu menjadi saksi atas dakwah Habib
Munzir selama bertahun tahun, membasuh ribuan hati pemuda pemudi Islam
ibu kota, lewat Majelis Rasulullah saw, yang digelar setiap Senin malam.
Pagi itu, masjid tersebut disambangi Habib Munzir untuk terakhir
kalinya.
Ba’da dhuhur, usai disholatkan, jenazah Habib Munzir yang berada didalam ambulans, langsung disambut kalimat “Lâ ilâha illâ Allâh” oleh ribuan jama’ah yang sudah memadati tempat pemakaman.
Banyaknya jama’ah yang ingin menyaksikan
prosesi pemakaman Habib Munzir membuat ambulans yang membawa jenazahnya
membutuhkan waktu lama dari tempat mensholatkan di Masjid Al-Munawwar ke
pemakaman Habib Kuncung, Rawajati. Para jama’ah seakan tak rela
melewatkan peristiwa itu begitu saja. Sebagian besar dari mereka
mengabadikannya, meski harus rela berdesak desakan, guna mengambil
gambar, baik video maupun foto menggunkan handphone.
Sebelum dimasukkan ke liang lahat,
jenazah Habib Munzir kembali disholatkan di masjid di lingkungan
kompleks pemakaman Habib Kuncung, untuk memberi kesempatan bagi jama’ah
yang belum mensholatkan. Sejak pagi, kompleks pemakaman itu memang sudah
dipadati ribuan jama’ah, menunggu kedatangan jenazah.
Sebagai seorang dai yang memiliki banyak
jama’ah yang amat mencintainya, seringkali Habib Munzir bin Fuad
Al-Musawwa menyampaikan pesan kepada jama’ahnya. Salah satu pesannya
sebelum ia meninggal adalah menitipkan perjuangan dakwah. Seperti pesan
berikut ini, yang disampaikan pada akun Twitter @Mjl_Rasulullah pada
Senin (15/9/2013), yaitu hari kehidupan sang Habib, berbunyi, “Pesan
habibana: JIKA AKU WAFAT MENDAHULUI KALIAN, KUTITIPKAN PERJUANGAN DAKWAH
SANG NABI SAW PADA KALIAN.”
Umat Islam di Jakarta dan juga kota kota
lainnya, mendoakan Habib Munzir yang telah lebih dulu meninggalkan
mereka. Bukan hanya di Nusantara, di kota Tarim pun sampai digelar
majelis khatam Al-Quran untuk Habib Munzir. Dalam majelis itu, Habib
Umar sempat menyampaikan sambutan. Berikut ini diantara yang disampaikan
oleh sang guru utama Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa:
“Dan mereka adalah ahlul akhlaq (orang
orang yang berakhlaq), sehingga berkumpul 20 ribu, 30 ribu, 40 ribu,
kemudian bertambah lagi, berkumpul di beberapa perayaan 100 ribu, 200
ribu, dan aku telah hadir di beberapa perkumpulan ketika kunjunganku di
mana lapangan tersebut dipenuhi oleh para jama’ah, dimana tidak mungkin
jumlah tersebut terkumpul pada perkumpulan pemerintahan atau yang
lainnya.
Akan tetapi sang raja hati itu (Sulthonul Qulub, demikian
sebutan Habib Umar pada Habib Munzir) dengan cahaya keimanan mengajak
hati sanubari yang lain sehingga mereka menyambut banyak diantara mereka
yang sebelumnya tidak pernah sholat, menjadi orang yang menjaga sholat,
ditambah lagi dengan berjama’ah dan sholat sunnah rawatib. Dan banyak
diantara mereka yang tadinya bermabuk mabukan menjadi orang yang jauh
dari hal tersebut, dan menjadi orang yang mengharapkan cangkir cangkir
dari dzikir kepada Allâh subhanahu wata’ala dan cangkir cangkir
berhubungan dengan Nabi Muhammad saw, menyebut nama beliau dengan
bergetarnya sholawat kepada beliau, dan merindukan perjumpaan dengan
beliau.
Diantara mereka ada yang menangis, ada
yang pingsan, ada yang khusyu’, ada yang bertaubat, ada yang mengamalkan
nasihat, ada yang bergetar hatinya, baik dalam keadaan berdiri maupun
duduknya mereka. Aku telah menyaksikan apa yang kusaksikan dari mereka.
Allâh telah memilihnya untuk kembali
kepada-Nya pada usia 40 tahun dan insyâ Allâh digolongkan dalam kelompok
(orang orang yang mendapat keridhoan Nya), dan masuk ke dalam kumpulan
mereka.
Ini merupakan perkara yang bukan dihitung
berdasarkan panjang atau pendeknya usia. Akan tetapi, perkara
terpenting adalah keadaan ditempat kebangkitan kelak dan keadaan ketika
menghadap kepada Yang Mahaluhur dan Maha Agung.”
♥ Annallaaha yaghfir lahu wa yarhamhu
wa yu’li darojatihi fil jannah. wa yanfa’unaa bi asroorihi wa anwaarihi
wa uluumihi fid diini wad dunyaa wal aakhiroh.♥
0 komentar :
Posting Komentar
Jangan Lupa Komennya