Di samping kiai, ia pun KIAI, dalam arti kreatif, inovatif, aktif, dan inklusif.

Habib Syarief Muhammad memang seorang
kiai, baik dilihat dari ilmunya, wawasannya, penampilannya,
pembawaannya, pergaulannya, sikapnya, maupun pendiriannya. Bahkan
sosoknya lebih menggambarkan sosok seorang kiai pribumi daripada sosok
seorang habib sebagaimana dalam bayangan kebanyakan orang.
Meskipun demikian, identitas dan jiwa
kehabibannya sama sekali tak hilang, bahkan berkurang pun tidak. Baik
dari namanya, keyakinannya, amaliahnya, kecenderungannya,
pergaulannya, perjuangannya, maupun keistiqamahannya.
Di samping kiai, ia pun KIAI, dalam arti
kreatif, inovatif, aktif, dan inklusif. Ini bukan singkatan yang
dibuat-buat dan dicocok-cocokkan dengannya. Orang yang mengenalnya cukup
dekat, insya Allah, akan sependapat bahwa masing-masing kata itu memang
terlihat dalam dirinya.
Kreativitasnya dapat dilihat dari apa yang dilakukannya sejak kecil, remaja, dan terus hingga kini.
Ia pun seorang yang inovatif.
Langkah-langkah yang ditempuhnya dan terobosan-terobosan yang
dilakukannya dalam mengembangkan Yayasan Assalaam jelas-jelas
menunjukkan hal itu. Jangan heran jika Assalaam dengan berbagai lembaga
pendidikannya, serta berbagai unit kegiatan lainnya, terus berkembang
pesat dan kini menjadi salah satu yayasan Islam yang sangat dikenal di
Bandung dan diakui memiliki kualitas yang baik.
Kemudian, berbagai peran dan amanah yang
diembannya sejak di bangku kuliah, bahkan sejak remaja, sampai kini,
merupakan bukti nyata aktivitasnya yang lama. Sedangkan pergaulannya
yang luas dan kedekatannya dengan berbagai kalangan jelas menunjukkan
inklusivitasnya. Jadi memang ia seorang KIAI.
Tetap tak Lupa Mengajar
Habib Syarief Muhammad lahir di Bandung
tanggal 5 November 1954, putra pasangan Habib Utsman bin Husein
Al-Aydarus dan Hj. Aisyah binti Djali Radjoe Soetan. Ia anak pertama
dari lima bersaudara. Adik-adiknya adalah Syarifah Hamidah, Syarif
Ahmad, Syarif Hamid, dan Syarifah Mahmudah. Selain itu, Habib Syarief
juga memiliki dua kakak perempuan lain ibu, yakni Syarifah Fathimah dan
Syarifah Maimunah.
Sosok yang ramah, mudah akrab, dan tak
suka menonjolkan diri ini memulai pendidikan formalnya di lembaga
pendidikan yang dirintis ayahandanya sendiri, Assalaam. Jenjang TK dan
SD diselesaikannya di sini. Kemudian ia melanjutkan ke PGAN (Pendidikan
Guru Agama Negeri) enam tahun di Bandung, tahun 1968-1973.
Setelah menuntaskan pendidikannya di
PGAN, akhir tahun 1973, Habib Syarief melangkahkan kaki ke Yogyakarta
di awal tahun 1974. Di sini ia melanjutkan pendidikannya di Fakultas
Adab IAIN Sunan Kalijaga, yang dapat diselesaikan tahun 1980, sambil
mondok di Pesantren Krapyak, asuhan tokoh NU terkemuka, K.H. Ali Maksum.
Saat kanak-kanak dan remaja, di samping
mengaji kepada ayahandanya sendiri, ia juga mengaji kepada para kiai di
Bandung meskipun tidak menetap di pesantren mereka. Di antaranya mengaji
ilmu falak kepada Ajengan Burhan, pengasuh Pesantren Cijaura.
Sejak kecil telah tumbuh kecintaannya
terhadap ilmu dan buku. Salah satu yang memotivasinya, ia menyaksikan
sendiri bagaimana ayahnya selalu muthalaah kitab setiap hari sekitar
enam jam, setiap ba‘da zhuhur, ba‘da isya, dan pagi hari. Padahal,
beliau setiap dua hari mengkhatamkan Al-Qur’an. Belum lagi waktunya
untuk membaca shalawat. Apa yang dilakukan sang ayah itu memotivasinya
untuk gemar membaca.
Di masa kanak-kanak, setiap hari Jum’at, ia ikut pengajian kitab Minhajul Abidin dan Ihya Ulumiddin, yang diasuh ayahandanya. Juga pengajian kitab Al-Hikam di
hari Sabtu. Khusus untuk ilmu-ilmu alat, sang ayah menyuruhnya untuk
belajar kepada kakak sepupunya, keponakan sang ayah sendiri, Habib
Ahmad bin Hasyim Al-Aydarus. Namun tidak sampai tuntas, karena ia keburu
pindah ke Yogya.
Ia memilih kuliah di IAIN Yogya karena
sejak di PGA telah banyak membaca buku-buku yang ditulis oleh para guru
besar IAIN Yogya. Di antaranya buku-buku karya Prof. Hasbi
Ash-Shiddiqi, Prof. Mukhtar Yahya, Dr. K.H. M. Tholhah Mansoer, Prof.
Mukti Ali, Prof. Zaini Dahlan. Ada sekitar 15 penulis yang bukunya
sering ia baca dan sebagian besar mereka adalah guru besar dan
dosen-dosen senior di sana.
Ketika pertama kali datang di Yogya, ia
tinggal di kediaman Dr. K.H. Tholhah Mansur. Kemudian atas saran
beberapa orang, termasuk K.H. Anwar Musaddad, ia masuk Pesantren Krapyak
sambil kuliah di IAIN Yogya.
Karena sejak kecil menyukai seni, ia
memilih Fakultas Adab, sebab ia yakin bahwa di dalamnya ada unsur-unsur
seni. Pada tiga tahun pertama, kuliah belum dijuruskan. Akhirnya
setelah mendapatkan sarjana muda, ia memilih jurusan sejarah kebudayaan
Islam. Pilihannya jatuh pada sejarah kebudayaan Islam, bukan jurusan
sastra Arab, karena kebetulan cocok dengan dosen-dosen yang mengajar
materi-materi yang berkaitan dengan sejarah.
Di antara dosen-dosen favoritnya saat itu
adalah Prof. Dr. Nouruzzaman Shiddiqi dan Dra. Chadijah Nasution.
Nouruzzaman Shiddiqi dipandangnya mampu mengkombinasikan dengan baik
metodologi Timur dan Barat. Cara penyampaiannya pun enak, gayanya
santai, dan sering memberikan informasi dari buku-buku mutakhir.
Sedangkan Chadijah Nasution dikatakannya memberikan materi yang
mendalam dan didukung dengan data-data yang jarang diketahui orang. Ia
pun sangat menguasai sejarah pendidikan Islam di Indonesia.
Saat kuliah, Habib Syarief Muhammad
dikenal sebagai aktivis dan organisatoris. Di tingkat II ia sudah
menjadi ketua rayon (tingkat fakultas) PMII, padahal biasanya yang
menjadi ketua rayon adalah mahasiswa tingkat III atau tingkat IV. Di
tingkat III meningkat menjadi ketua komisariat (tingkat universitas),
sedangkan ketua-ketua rayonnya teman-teman seangkatannya.
Kesibukannya berorganisasi tidak membuat
kuliahnya terbengkalai. Pada tahun 1980 ia dapat menuntaskannya. Saat
sarjana muda, tugas akhir yang ditulisnya berjudul Pengaruh Bahasa Arab terhadap Kebudayaan Islam di Indonesia. Sedangkan ketika skripsi, yang ditulisnya adalah Peran Nahdlatul Ulama dalam Perubahan Sosial di Indonesia.
Ia cukup puas dapat menuntaskan skripsinya tersebut karena saat itu
sulit sekali mencari referensi tentang NU, tidak seperti sekarang,
sehingga membutuhkan perjuangan yang cukup berat.
Sepulang dari Yogyakarta, Habib Syarief
diminta untuk membantu abahnya mengajar di SMP Assalaam. Namun ini
hanya berjalan sekitar dua tahun. Tampaknya jiwa dan pola pikir
aktivisnya yang masih menyala-nyala membuatnya tak betah menjalani
kegiatan ini.
Tahun 1982, ia meminta izin kepada sang
ayah untuk mengajar di perguruan tinggi. Pertama-tama ia mengajar di ITB
dengan materi Al-Islam (kuliah agama Islam). Bertahun-tahun ia mengajar
sampai hampir diangkat menjadi tenaga pengajar tetap. Namun akhirnya
tak jadi, karena ayahnya tak mengizinkannya menjadi pegawai negeri.
Meskipun Habib Syarief beberapa kali mencoba menjadi dosen tetap di
beberapa perguruan tinggi negeri, upayanya selalu ”dipotong di tengah
jalan” oleh sang ayah.
Namun hal tersebut tak membuatnya patah
semangat untuk terus mengajar, baik di perguruan tinggi negeri maupun
swasta, meskipun tak menjadi PNS. Tahun 1983 ia mulai mengajar di Uninus
dan langsung menjadi sekretaris fakultas sastra. Di fakultas yang sama
ia sempat pula menjadi pembantu dekan II (1991-1995) dan pembantu dekan
III (1985-1995) sampai akhirnya pembantu rektor III (1995-1999) dan
pembantu rektor IV (1999-2003) selama pengabdiannya di kampus ini.
Selain di kedua perguruan tinggi itu, ia
pun mengajar di Unisba, Inisi, Ikopin, Unpas, Politeknik Swiss, dan
lain-lain. Tercatat, ada 11 perguruan tinggi tempat ia mengajar.
Sebagiannya ada yang cukup lama, seperti di Uninus, yang dijalaninya
selama kurang lebih 16 tahun hingga tahun 1999. Di ITB selama delapan
tahun, di Unisba sekitar tiga sampai empat tahun. Ada pula yang hanya
dua-tiga tahun saja.
Selain memberikan mata kuliah Al-Islam,
ia juga mengajar materi-materi lainnya, di antaranya Ilmu Budaya Dasar,
Filsafat Umum, Metodologi Penelitian, Tafsir, Hadits, Ulumul-Qur’an.
Selama periode itu pula, kegiatan Habib
Syarief bertambah lagi dengan memberikan pengajian dan ceramah di
masyarakat di berbagai tempat, yang dari waktu ke waktu juga terus
bertambah. ”Sekitar sembilan puluh persen wilayah Jawa Barat telah
dikelilingi. Waktu itu masih senang-senangnya ngomong,” katanya
mengenang saat-saat itu.
Bekerja sampai 16 Jam per Hari

Kegemaran membaca juga telah tumbuh
sejak kecil. Berbagai buku dibacanya. Cerita-cerita karya Kho Ping Ho,
Sherlock Holmes, Agatha Cristie, Karl May, misalnya, telah disantapnya
sejak kanak-kanak.
Masa pertengahan 1980-an hingga
pertengahan 1990-an memang merupakan saat-saat tersibuk dalam
kehidupannya. Mengajar di berbagai kampus, memberikan pengajian dan
ceramah di mana-mana, serta mengikuti macam-macam kegiatan ilmiah.
”Selama sekitar 10 tahun itu, saya bekerja sampai 16 jam per hari. Tidak
ada hari hari libur. Hari Sabtu dan Ahad pun tetap sibuk ke
sana-kemari,” katanya.
Ketika kegiatan ceramah dari waktu ke
waktu terus bertambah, akhirnya sedikit demi sedikit ia pun terpaksa
mengurangi kegiatan mengajarnya, dan berhenti sama sekali pada tahun
1999 ketika ia harus ke Jakarta saat mendapatkan amanah sebagai
anggota MPR.
Bukan hanya membaca, mengajar, dan
berceramah yang menemani hari-harinya saat itu bahkan hingga sekarang,
melainkan juga aktivitas organisasi, terutama di NU. Di organisasi
Islam terbesar di Indonesia ini, kiprahnya diawali tahun 1982 saat
menjadi wakil ketua PCNU Bandung yang dipegangnya hingga tahun 1985.
Setelah itu berturut-turut mendapat kepercayaan sebagai wakil katib
Syuriah PWNU Jawa Barat (1985-1990), wakil ketua Tanfidziyah PWNU Jawa
Barat (1990-1995), dan ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Barat (1995-1998).
Jabatannya sebagai ketua Tanfidziyah PWNU tak sampai akhir periode,
karena ia harus melepasnya sejak menjadi ketua Tanfidziyah DPW Partai
Kebangkitan Bangsa (1998-2000).
Di luar itu, amanah yang pernah dan
sedang diembannya di antaranya sebagai ketua umum Yayasan Assalaam
Bandung (1985-sekarang), anggota pengurus MUI kota Bandung (1984-1988),
anggota pengurus DKM Masjid Agung Bandung (1996-1998), anggota pengurus
Forum Komunikasi Umat Beragama Jawa Barat (1996-1998), anggota Dewan
Pembina GP Ansor Jawa Barat (1993-1998), a‘wan PBNU (2005-2009),
penasihat Rabithah Alawiyah cabang Bandung (2007-2011).
Pada tahun 1999 Habib Syarief menjadi
anggota MPR dari fraksi utusan daerah Provinsi Jawa Barat bersama empat
orang lainnya, termasuk Ginanjar Kartasasmita. Setiap provinsi mendapat
jatah lima orang untuk fraksi utusan daerah dan dipilih oleh anggota
DPRD masing-masing provinsi. Di MPR ia kemudian diberi amanah sebagai
wakil ketua Fraksi PKB. Sebagaimana diketahui, masing-masing anggota
fraksi utusan daerah yang berasal dari parpol, di MPR bergabung dengan
masing-masing parpolnya.
Habib Syarief pun dipercaya duduk dalam
Panitia AdHoc II BP MPR dan terlibat dalam proses amandemen 1 dan 2 UUD
1945. Selesai amandemen, kesibukannya berlanjut bersama beberapa
anggota lainnya untuk mensosialisasikannya, baik di dalam maupun di
luar negeri. Dalam kapasitasnya sebagai anggota MPR pula ia bersama
anggota delegasi yang lain berkesempatan melakukan studi banding ke
beberapa negara.
Setelah tak lagi menjadi anggota MPR,
kesibukannya bukan berkurang, malah semakin bertambah. Di samping
mengelola dan mengembangkan Assalaam beserta segenap pengurus yayasan
dan mereka semua yang terlibat, ia tetap menjadi pendidik dan
penceramah di berbagai kesempatan. Jadwal acaranya dari hari ke hari
sangat padat. Belum lagi kegiatan-kegiatan dzikir yang diasuhnya,
seperti istighatsah dan sebagainya.
Habib Syarief juga menjadi kolumnis dan
penulis artikel di berbagai media cetak. Di antaranya tulisannya secara
teratur muncul di harian Pikiran Rakyat Bandung dan
media-media lain. Ia juga menjadi muballigh di berbagai acara keislaman
di TVRI Pusat, TVRI Jabar-Banten, dan berbagai TV swasta.
Sosok produktif ini pun telah menghasilkan banyak karya, di antaranya yang telah terbit adalah Agar Hidup Selalu Berkah, Wirid Penyejuk Qalbu (Istighatsah Istisyfa’), Kapita Selekta Dakwah, Wirid Harian, 135 shalawat Nabi,Kronologi Perjalanan Ibadah Haji, 79 Macam Shalat Sunnah, Panduan Doa Manasik Haji, Siraman Pengantin,Pengurusan Jenazah, 1001 Doa Pilihan.
Dari pernikahannya dengan Dra. Hj.
Ayusdarniati, Habib Syarief dikarunia empat permata hati: H.M. Luthfi
Almanfaluthi, S.T., Hj. Syarifah Rafika Zakiah, H.M. Rifki Noval, dan
Hj. Syarifah Zafira.
0 komentar :
Posting Komentar
Jangan Lupa Komennya