Minggu, 27 April 2014



Dia seorang Imam al-Qutb yang tunggal dan merupakan qiblat para
auliya' di zamannya, sebagai perantara tali temali bagi para pembesar
yang disucikan Allah jiwanya, bagai tiang yang berdiri kokoh dan
laksana batu karang yang tegar diterpa samudera, seorang yang telah
terkumpul dalam dirinya antara ainul yaqin dan haqqul yaqin, beliau
adalah Habib Abu Bakar bin Muhammad bin Umar bin Abu Bakar bin Imam
(Wadi-al-Ahqaf) Habib Umar bin Segaf Assegaf.

Nasab yang mulia ini terus bersambung dari para pembesar ke kelompok
pembesar lainnya, bagai untaian rantai emas hingga sampailah kepada
tuan para pendahulu dan yang terakhir, kekasih yang agung junjungan
Nabi Muhammad SAW.

Habib Abu Bakar dilahirkan di kota Besuki, sebuah, kota kecil di
kabupaten Sitibondo Jawa Timur, pada tanggal 16 Dzulhijjah 1285H. Dalam
pertumbuhan hidupnya yang masih kanak-kanak, ayahanda beliau tercinta
telah wafat dan meninggalkannya di kota Gresik. Sedang disaat-saat itu
beliau masih membutuhkan dan haus akan kasih sayang seorang ayah. Namun
demikian beliau pun tumbuh dewasa di pangkuan inayah ilahi didalam
lingkungan keluarga yang bertaqwa yang telah menempanya dengan
pendidikan yang sempurna, hingga nampaklah dalam diri beliau pertanda
kebaikan dan kewalian.

Konon diceritakan bahawa beliau mampu mengingat segala kejadian yang
dialaminya ketika dalam usia tiga tahun dengan secara detail. Hal ini
tidak lain sebagai isyarat akan kekuatan ruhaniahnya yang telah siap
untuk menampung luapan anugerah dan futuh dari rabbnya Yang Maha Mulia.

Pada tahun 1293H, segeralah beliau bersiap untuk melakukan
perjalanan jauh menuju kota asal para leluhurnya, iaitu Hadramaut. Kota
yang bersinar dengan cahaya para auliya'. Perjalanan pertama ini adalah
atas titah dari nenek beliau (ibu dari ayahnya) seorang wanita shalihah
Fatimah binti Abdullah Allan. Dengan ditemani seorang yang mulia,
asy-Syaikh Muhammad Bazmul, beliau pun berangkat meninggalkan kota
kelahiran dan keluarga tercintanya. Setelah menempuh jarak yang begitu
jauh dan kepayahan yang tidak terbayangkan maka sampailah beliau di
kota Seiwuun sedang pamannya tercinta al-Allamah al-Habib Abdullah bin
Umar beserta kerabat yang lain telah menyambut kedatangannya di luar
kota tersebut.

Tempat tujuan pertamanya adalah kediaman seorang allamah yang
terpandang di masanya, al-'Arifbillah al-Habib Syaikh bin Umar bin
Saggaf". Sesampainya di sana Habib Syaikh langsung menyambut seraya
memeluk dan menciuminya, tanpa terasa airmata pun bercucuran dari kedua
matanya, sebagai ungkapan bahagia atas kedatangan dan atas apa yang
dilihatnya dari tanda-tanda wilayah di wajah beliau yang bersinar itu.
Demikianlah seorang penyair berkata, hati para auliya' memiliki mata
yang dapat memandang apa saja yang tak dapat dipandang oleh manusia
lainnya. Dengan penuh kasih sayang, Habib Syaikh mencurahkan segala
perhatian kepadanya, termasuk pendidikannya yang maksima telah
membuahkan kebaikan dalam diri Habib Abu Bakar yang baru beranjak
dewasa. Bagi Habib Abu Bakar menuntut ilmu adalah segala-galanya dan
melalui pamannya al-Habib Umar beliau mempelajari ilmu fiqih dan
tasawwuf.


Ketika menempa pendidikan dari sang paman inilah, pada setiap malam
beliau dibangunkan untuk shalat tahajjud bersamanya dalam usia yang
masih belia. Hal ini sebagai upaya mentradisikan qiyamullail yang telah
menjadi kebiasaan orang-orang mulia di sisi Allah atas dasar
keteladanan dari baginda Rasulillah SAW. Hingga apa yang
dipelajari beliau tidak hanya sebatas teori ilmiah namun telah
dipraktekkan dalam amaliah kesehariannya.

Rupanya dalam kamus beliau tidak ada istilah kenyang dalam menuntut
ilmu, selain dari pamannya ini, beliau juga berkeliling di seantero
Hadramaut untuk belajar dan mengambil ijazah dari para ulama' dan
pembesar yang tersebar di seluruh kota tersebut. Salah seorang dari
sederetan para gurunya yang paling utama, adalah seorang arifbillah
yang namanya termasyhur di jagad raya ini, guru dari para guru di
zamannya al-Imam al-Qutub al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi"  sebagai Syaikhun-Nadzar. (Guru Pemerhati).

Perhatian dari mahagurunya ini telah tertumpahkan pada murid
kesayangannya jauh sebelum kedatangannya ke Hadramaut, ketika beliau
masih berada di tanah Jawa. Hal ini terbukti dengan sebuah kisah yang
sangat menarik antara al-Habib Ali dengan salah seorang muridnya yang
lain. Pada suatu hari Habib Ali memanggil salah satu murid setianya.
Beliau lalu berkata: "Ingatlah ada tiga auliya' yang nama, haliah dan
maqam mereka sama". Wali yang pertama telah berada di alam barzakh,
yakni al-Habib Qutbul-Mala' Abu Bakar bin Abdullah al-Aidrus, dan yang
kedua engkau pernah melihatnya di masa kecilmu, iaitu al-Habib Abu
Bakar bin Abdullah al-Attas, adapun yang ketiga akan engkau lihat dia
di akhir usia kamu. Habib Ali pun tidak menjelaskan lebih lanjut
siapakah wali ketiga yang dimaksud olehnya.

Selang waktu beberapa tahun kemudian, tiba-tiba sang murid tersebut
mengalami sebuah mimpi yang luar biasa. Dalam sebuah tidurnya ia
bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW , kala itu dalam
mimpinya Nabi SAW menuntun seorang anak yang masih kecil
sambil berkata kepada orang tersebut: Lihatlah aku bawa cucuku yang
shaleh Abu Bakar bin Muhammad as-Saggaf! Mimpi ini terulang sebanyak
lima kali dalam lima malam berturut-turut, padahal orang tersebut tidak
pernah kenal dengan Habib Abu Bakar sebelumnya, kecuali setelah
diperkenalkan oleh Nabi SAW.

Pada saat ia kemudian bersua dengan Habib Abu Bakar as-Saggaf, iapun
menjadi teringat ucapan gurunya tentang tiga auliya' yang nama, haliah
dan maqamnya sama. Lalu ia ceritakan mimpi tersebut dan apa yang pernah
dikatakan oleh Habib Ali al-Habsyi kepada beliau. Kiranya tidak meleset
apa yang diucapkan Habib Ali beberapa tahun silam bahwa ia akan melihat
wali yang ketiga di akhir usianya, karena setelah pertemuannya dengan
Habib Abu Bakar ia pun meninggalkan dunia yang fana ini, berpulang ke
rahmatullah. Tidak diragukan lagi perhatian yang khusus dari sang guru
yang rnulia ini telah tercurahkan kepada murid kesayangannya, hingga
suatu saat al-Habib Ali al-Habsyi menikahkan Habib Abu Bakar bin
Muhammad as-Saggaf dengan salah seorang wanita pilihan gurunya ini di
kota Seiwuun, bahkan Habib Ali sendirilah yang meminang dan menanggung
seluruh biaya perkawinannya.

 Selain Habib Ali, masih ada lagi yang menjadi syaikhut-tarbiah (guru
pendidiknya) yakni pamannya tercinta al-Habib Abdullah bin Umar
as-Saggaf. Adapun yang menjadi Syaikhut-Tasliik (guru pembimbing
beliau) Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi (gambar sebelah). Sedang
yang menjadi syaikhul-fath (guru pembuka) adalah al-Wali al-Mukasyif
al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad bin Qutban yang acapkali memberinya
khabar gembira dengan mengatakan: "Engkau adalah pewaris haliah kakekmu
Umar bin Saggaf".

Demikianlah beliau menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar,
mengambil ijazah serta ilbas dengan berpindah dari pangkuan para
auliya' dan pembesar yang satu dan yang lainnya di seluruh Hadramaut,
Seiwuun, Tarim dan sekitarnya yang tidak dapat kami sebutkan satu
persatu nama mereka. Setelah semuanya dirasa cukup dan atas izin dari
para gurunya, beliaupun mulai meninggalkan kota para. auliya' itu untuk
kembali ke tanah Jawa, tepatnya pada tahun 1302 H.

Dengan ditemani al-Arifbillah al-Habib Alwi bin Saggaf as-Saggaf
(dimakamkan di Turbah Kebon - Agung Pasuruan) berangkatlah beliau ke
Indonesia. Adapun tujuan pertamanya adalah kota kelahirannya Besuki
-Jawa timur, setelah tiga tahun tinggal di sana, beliau lalu berhijrah
ke kota Gresik pada tahun 1305H dalam usia 20 tahun. Dan di kota inilah
beliau bermukim. Mengingat usianya yang masih sangat muda, maka
kegiatan menuntut Ilmu, ijazah dan ilbas masih terus dilakoninya tanpa
kenal lelah.

Beliaupun terus menerus berkunjung kepada para auliya' dan ulama'
yang telah menyinari bumi pertiwi ini dengan keshalehannya. Sebagaimana
al-Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas, al-Habib Ahmad bin Abdullah
al-Attas, al-Habib Ahmad bin Muhsin al-Haddar, al-Habib Abdullah bin
Ali al-Haddad, al-Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya, al-Habib Muhammad
bin Ahmad al-Muhdar dan masih banyak lagi yang lainnya .

Pada tahun yang sama tepatnya pada hari Jum'at, telah terjadi sebuah
peristiwa yang di luar jangkauan akal manusia dalam diri beliau. Yaitu
di saat beliau tengah khusyuk mendengarkan seorang khatib yang
menyampaikan khutbahnya di atas mimbar, tiba-tiba beliau mendapat
lintasan hati rahmani dan sebuah izin rabbani, ketika itu nuraninya
berkata agar beliau segera mengasingkan diri dari manusia sekitarnya.
Hatinya pun menjadi lapang untuk melakukan uzlah menjauhkan diri dari
kehidupan dunia.

Seketika itu juga beliau beranjak meninggalkan Masjid Jami' langsung
menuju rumah, dan sejak saat itu beliau tidak lagi menemui seorang pun
dan tidak pula memberi kesempatan orang untuk menemuinya. Hal ini
beliau lakukan tiada lagi hanya untuk mengabdikan diri dan beribadah
kepada Rabbnya dengan segenap jiwa raganya, dan berlangsung sampai lima
belas tahun lamanya. Hingga tibanya izin dari Allah agar beliau keluar
dari khalwatnya untuk kembali berinteraksi dengan manusia di sekitarnya.

Pada saat menjelang keluar dari khalwatnya, beliau disambut oleh
gurunya al-Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, seraya berkata: "Aku
telah memohon dan bertawajjuh pada Allah selama tiga hari tiga malam
untuk mengeluarkan Abu Bakar bin Muhammad as-Saggaf". Habib Muhammad
lalu menuntunnya keluar dan membawanya berziarah ke makam seorang wali
yang tersohor dan menjadi mahkota bagi segala kemuliaan di zamannya,
yakni al-Habib 'Alwi bin Muhammad Hasyim RA.

Setelah ziarah, beliau berdua lalu berangkat menuju kota Surabaya ke
kediaman al-Habib Abdullah bin Umar as-Saggaf. Di tengah-tengah
orang-orang yang hadir pada saat itu, berkatalah al-Habib Muhammad bin
Idrus sambil tangannya menunjuk ke arah Habib Abu Bakar "Ini adalah
khazanah dari seluruh khazanah Bani Alawi yang telah kami buka untuk
memberi manfaat kepada orang khusus dan umum".

Pasca kejadian tersebut, mulailah al-Habib Abu Bakar menetapkan
jadual Qira'ah (pembacaan kitab-kitab salaf) di rumahnya. Dalam waktu
yang singkat beliau telah menjadi tumpuan bagi umat di zamannya,
bagaikan Ka'bah yang tidak pernah sepi dari penziarah yang datang
mengunjunginya dari berbagai penjuru dunia. Siapa saja yang datang
kepada beliau disertai dengan husnuddzan (berbaik-sangka) maka ia akan
beruntung dengan tercapai segala maksudnya dalam waktu yang dekat.

Di Majlis yang diadakannya itu beliau telah mengkhatamkan kitab
"Ihya' Ulumuddin" sebanyak lebih dari empat puluh kali. Dan disetiap
mengkhatamkannya, beliau selalu mengadakan jamuan besar-besaran untuk
orang yang hadir di majlisnya. Al-Habib Abu Bakar dikenal sebagai orang
yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sirah dan jejak para
salafnya, bahkan pada segala adat istiadatnya. Seluruh majlis beliau
senantiasa dimakmurkan dengan kajian-kajian ilmiah yang bersumber dari
semua kitab karya para salafnya.

Jika kita berbicara tentang maqam dan kedudukan beliau, maka tidak
satupun dari para auliya' pada masa beliau yang menyangsikannya. Beliau
telah mencapai tingkatan "asshiddiqiyyah al-kubra" yang telah
diisyaratkan sebagai "sahibulwaqt" (panglima tertinggi para auliya' di
masanya). Keluhuran maqamnya telah diakui oleh seluruh yang hidup di
zaman beliau. Telah berkata al-Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdar dalam
sebuah suratnya kepada beliau (dengan mengutip beberapa ayat
al-Qur'an). "Demi fajar. Dan malam yang sepuluh. Dan yang genap dan
yang ganjil" (Sesungguhnya saudaraku Abu Bakar bin Muhammad as-Saggaf
adalah permata yang lembut yang beredar dan beterbangan menjelajah
seluruh maqam para leluhurnya)..

Berkata pula panutan kita, seorang yang telah diakui keunggulan dan
keilmuannya al-habib 'Alwi bin Muhammad al-Haddad: "Sesungguhnya
al-Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Saggaf adalah al-Qutbul Ghauts dan
sesungguhnya ia adalah tempat tumpuan pandangan Allah".

Pada kesempatan lain beliau berkata: "Aku tidak takut (segan) kepada
satu pun makhluk Allah kecuali kepada Habib Abu Bakar bin Muhammad
as-Saggaf". Sebenarnya pada masa keemasan itu banyak sekali orang-orang
yang patut disegani, namun kini mereka semua telah berpulang ke rahmat
Allah سبحانه وتعالى. Masih banyak lagi ungkapan-ungkapan beliau yang
tidak dapat kami torehkan dalam tulisan ini.

Berkata juga seorang sumber kebaikan di zamannya, dan kebanggaan
pada masanya, seorang da'i yang selalu mengajak kejalan Allah dengan
ucapan dan perbuatannya, al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi
(Kwitang-Jakarta). Ketika itu di kediaman Habib Abu Bakar (Gresik),
pada saat beliau menjalin persaudaraan dengannya, seraya memberi
isyarat kepada Habib Abu Bakar dan airmatanya berlinang, berkata kepada
para hadirin saat itu "Ini (al-Habib Abu Bakar) adalah raja lebah (raja
para auliya') ia saudaraku di jalan Allah, lihatlah kepadanya! Karena
memandangnya adalah ibadah"

Berkata seorang panutan orang-orang yang arif, al-Habib Husain bin
Muhammad al-Haddad, sesungguhnya al-Habib Abu Bakar bin Muhammad
as-Saggaf adalah seorang khalifah, dialah pemimpin para auliya' di
masanya, ia telah mencapai maqam asy-syuhud hingga beliau mampu
menerawang hakekat dari segala sesuatu. Beliau melanjutkan ungkapannya
dengan mengutip sebuah ayat al-Qur'an "Sungguh patut jika dikatakan
padanya; Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang kami berikan
kepadanya nikmat (kenabian) (Surah az-Zukhruf:59) Maksudnya beliau
tidak lain hanyalah seorang hamba yang telah dilimpahi nikmat dan
anugerah Allah سبحانه وتعالى. Kiranya telah cukup sebagai bukti
keluhuran maqam beliau yang telah mencapai kedudukan bersua dengan Nabi SAW dalam keadaan terjaga. Berkata yang mulia RA  bahwa: "Ar-Rasul SAW telah masuk menemuiku sedang
aku dalam keadaan terjaga, beliau lalu memelukku dan akupun
memeluknya". Para auliya' bersepakat, bahwa maqam ijtima' (bertemu)
dengan Nabi SAW dalam waktu terjaga, adalah sebuah maqam
yang melampaui seluruh maqam yang lain. Hal ini tidak lain adalah buah
dari ittiba' (keteladanan) beliau yang tinggi terhadap Nabinya SAW. Adapun kesempurnaan istiqamah merupakan puncak segala
karamah. Seorang yang dekat dengan beliau berujar bahwa aku sering kali
mendengar beliau mengatakan: "Aku adalah ahluddarak, barang siapa yang
memohon pertolongan Allah melaluiku maka dengan izin Allah aku akan
membantunya, barang siapa yang berada dalam kesulitan lalu
memanggil-manggil namaku maka aku akan segera hadir di sisinya dengan
izin Allah"

Pada saat menjelang ajalnya, seringkali beliau berkata:"Aku
berbahagia untuk berjumpa dengan Allah". Maka sebelum kemangkatannya ke
rahmat Allah, beliau mencegah diri dari makan dan minum selama lima
belas hari, namun hal itu tidak mengurangi sedikitpun semangat
ibadahnya kepada Allah . Setelah ajal kian dekat
menghampirinya, diiringi kerinduan berjumpa dengan khaliqnya, Allah pun
rindu bertemu dengannya, maka beliau pasrahkan ruhnya yang suci kepada
Tuhannya dalam keadaan redho dan diridhoi

Beliau wafat pada hari Ahad malam Senin, 17 Zulhijjah 1376H, dalam usia 91 tahun. Semoga saja sirah beliau
yang kami angkat kali ini tidak hanya mengundang decak kagum bagi yang
membacanya, namun juga dapat menumbuhkan semangat dalam diri kita guna
meningkatkan ubudiah kita dengan senantiasa mendekatkan diri dalam
kebaikan dan bersama orang-orang yang baik. Amin.

0 komentar :

Posting Komentar

Jangan Lupa Komennya