Sanad guru jauh lebih kuat… Hingga
kini kita Ahlussunnah wal Jamaah lebih berpegang kepada silsilah guru
(yaitu ia mempunyai riwayat guru-guru yang bersambung hingga Rasul saw
dan kau betul-betul mengetahui bahwa ia benar-benar memanut gurunya)…
kita berpedoman kepada guru-guru yang bersambung sanadnya kepada Nabi
saw ataupun kita berpegang pada buku yang penulisnya mempunyai sanad
guru hingga Nabi saw… Ia (sanad guru) adalah bagai rantai emas terkuat
yang tak bisa diputus dunia dan akhirat, jika bergerak satu mata rantai
maka bergerak seluruh mata rantai hingga ujungnya, yaitu Rasulullah saw.

HABIB
Munzir bin Fuad Al-Musawwa lahir di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, pada
hari Jum’at, 23 Februari 1973, bertepatan dengan tanggal 19 Muharram
1393H. Usai menyelesaikan sekolah lanjutan tingkat atas, ia mulai
mendalami ilmu ilmu syari’ah Islam, diantaranya di Pesantren Al-Kifahi
Ats-Tsaqafi, Bukit Duri, Jakarta Selatan, mengambil kursus bahasa Arab
di LPBA As-Salafi, Kebon Nanas, Jakarta Timur, kemudian mondok lagi di
Pesantren Al-Khairat, Bekasi Timur.
Saat di pesantren Al-Khairat itulah
pertama kalinya ia bertemu Habib Umar bin Hafidz, guru utamanya
dikemudian hari. Kepada sang guru, ia menekuni pelajaran selama empat
tahun, yaitu di Ma’had Darul Mushthafa, Tarim Hadhramaut, Yaman Selatan.
Mau Jadi Apa?
Semasa kecil, ia seorang anak yang sangat dimanja oleh ayahnya. Ia pun
sampai merasa bahwa sang ayah lebih memanjakannya lebih dari anaknya
yang lain. Namun, beranjak remaja, justru sang anak kesayangan ini yang
putus sekolah, sementara kakak kakaknya dapat melanjutkan pendidikannya
hingga sampai wisuda. Orangtuanya bangga pada mereka, tapi, sebagaimana
yang sempat dituturkannya sendiri, mereka kecewa kepadanya. “Karena saya
malas sekolah…,” kisahnya suatu ketika.
Namun demikian, ia rajin menghadiri
majelis majelis ilmu. Disamping itu, ia juga menghabiskan waktu di hari
hari mudanya dengan bersholawat seribu kali siang dan malam, berdzikir
beberapa beribu kali, menjalankan puasa Nabi Daud As, dan sholat malam
berjam-jam. “(Tapi) saya pengangguran, dan sangat membuat ayah bunda
malu,” ujarnya.
“Almarhum Ayah sangat malu. Beliau
mumpuni dalam agama dan mumpuni dalam kesuksesan dunia. Beliau berkata
pada saya, ‘Kau ini mau jadi apa? Jika mau agama, belajarlah dan
tuntutlah ilmu sampai ke luar negeri. Jika ingin meneladani ilmu dunia,
tuntutlah sampai ke luar negeri…’
Namun saya sangat mengecewakan ayah bunda. Boleh dikata, saya ini dunia tidak, akhirat pun tidak,” katanya.
Ketika ayahnya pensiun, ibundanya membangun losmen kecil di depan rumah,
yang hanya menyediakan lima kamar dan hanya disewakan pada orang yang
baik baik, untuk biaya nafkah keluarga, dan ketika itu ia menjadi
pelayan losmen milik ibundanya tersebut.
Setiap malam ia jarang tidur. Ia banyak
termenung di kursi resepsionis yang hanya berupa meja kecil dan kursi
kecil mirip di pos satpam, sambil menanti tamu. Sambil menunggu losmen,
ia habiskan malam malamnya itu dengan bertafakkur, merenung, berdzikir,
menangis, dan sholat malam. Sebagai pelayan losmen, tugasnya adalah
menerima tamu, memasang seprai, menyapu kamar, membersihkan toilet,
membawakan makanan dan minuman pesanan tamu, seperti teh, kopi, air
putih, atau nasi goreng buatan sang bunda, jika tamu memesannya.
Sampai ketika semua kakaknya lulus
sarjana, ia tergugah untuk mondok di Pesantren Al-Kifahi Al-Tsaqafi,
asuhan Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf, Bukit Duri, Jakarta Selatan,
dan juga belajar di Ats-Tsaqafah Al-Islamiyah. Namun disana ia hanya
sampai sekitar dua bulan, karena sering sakit sakitan. Penyakit lamanya,
yaitu asma, sering kambuh.
“Ayah makin malu, bunda pun makin sedih…”
ujar Habib Munzir mengenang masa masa itu. “Lalu saya ambil saja kursus
bahasa Arab di As-Salafi, pimpinan Habib Bagir Al-Attas.” Ia pun harus
pulang pergi Jakarta Cipanas, yang saat itu ditempuh dalam dua-tiga jam,
dengan ongkos sendiri, dua kali dalam sepekan. Ongkos perjalanan adalah
hasil dari pekerjaannya di losmen tersebut.
Berjumpa Guru Mulia

Ia
juga selalu menyempatkan diri hadir di Majelis Maulid Nabi Saw ditempat
Habib Umar bin Hud Al-Attas, yang saat itu di Cipayung. Jika tak ada
ongkos, ia menumpang truk. Karenanya, sering kali ia sampai harus
berhujan hujanan. Tak jarang ia datang ke Majelis Maulid malam Jum’at
itu dalam keadaan basah kuyup, sampai sampai ia pernah diusir oleh
penjaga di rumah Habib Umar bin Hud, “Karena karpet tebal dan mahal itu
sangat bersih, tak pantas saya yang kotor dan basah menginjaknya. Saya
terpaksa berdiri saja berteduh dibawah pohon sampai hujan berhenti dan
tamu tamu berdatangan. Saya duduk di luar teras saja, karena baju basah
dan takut dihardik sang penjaga,” ujar Habib Munzir dalam salah satu
tulisannya.
Ia sering pula berziarah ke Luar Batang,
makam Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus. Suatu ketika ia datang kesana
dan lupa membawa kopiah, karena datang langsung dari Cipanas. “Ya
Allâh, aku datang sebagai tamu seorang wali-Mu. Tak beradab jika aku
masuk ziarah tanpa berkopiah, tapi uangku pas pasan, dan aku lapar.
Kalau beli kopiah, aku tak makan, dan ongkos pulangku kurang,” demikian
hatinya mengucap saat itu.
Akhirnya ia memutuskan membeli kopiah.
Pilihannya yang berwarna hijau, karena itu yang termurah saat itu di
emperan penjual kopiah. Usai membelinya dan masuk berziarah, sambil
membaca Ya-Sin untuk dihadiahkan kepada shahibul maqam, ia menangisi
kehidupannya yang penuh dengan ketidakmenentuan, mengecewakan orangtua,
sering menghindar dari lingkungan yang terkadang mencemoohnya, “Kakak
kakakmu semua sukses, ayahmu lulusan Makkah dan juga New York
University. Kok anaknya centeng losmen…”
Dalam tangisan itu, hatinya kembali
berucap, “Wahai wali Allah, aku tamumu, aku membeli peci untuk beradab
padamu, hamba yang shalih di sisi Allâh, pastilah kau dermawan dan
memuliakan tamu, aku lapar dan tak cukup ongkos pulang.”
Saat itu, tiba tiba datang serombongan
kawannya di pesantren Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Tampak mereka
senang berjumpa dengannya. Ia pun ditraktir makan. “Saya langsung
teringat, ini berkah saya beradab di makam wali Allâh,” ujarnya.
Ia pun ditanya, dengan siapa dan mau
kemana, ia katakan bahwa ia sendiri dan mau pulang ke kerabat ibunya di
bilangan Pasar Sawo, Kebon Nanas. Mereka berkata, “Ayo bareng saja, kami
antar sampai Kebon Nanas.” Ia semakin bersyukur kepada Allâh, karena
memang ongkosnya tak ‘kan cukup jika pulang ke Cipanas. Hari sudah larut
malam ketika ia sampai di kediaman bibi dari ibunya. Keesokan harinya
ia diberi uang cukup untuk pulang ke Cipanas.
Tak lama dari kejadian itu, ia masuk
Pesantren Al-Khairat, asuhan Habib Nagib bin Syaikh Abubakar, di Bekasi
Timur. Di pesantren itu, setiap kali majelis pembacaan Maulid Nabi
digelar dan saat Mahallul Qiyam dibacakan, ia menangis. Ia berdoa kepada
Allâh bahwa ia rindu pada Rasulullah Saw. Ia pun ingin dipertemukan
dengan guru yang paling dicintai Rasul Saw.
Dalam beberapa bulan saja setelah ia
mondok disana, tibalah Habib Umar bin Hafidz ke pondok itu. Itu adalah
kunjungan pertama Habib Umar ke Indonesia, yaitu pada tahun 1994.
Pertemuannya dengan Habib Umar membawa hikmah yang luar biasa, yang
kemudian membawa langkah kakinya menuju negeri leluhurnya, Tarim,
Hadhramaut, Yaman Selatan, tempat Habib Umar membina ma’hadnya, Darul
Mushthafa.

Habib Munzir saat remaja
Adab kepada Guru