Jumat, 28 Maret 2014


Dengan karya karya terjemahannya, ia berharap akan semakin banyak pelajar dan peminat ilmu ilmu agama yang dapat mengetahui informasi yang terkandung di dalam kitab kitab peninggalan para ulama terdahulu itu.

Habib Abdul Qodir bin Ahmad MauladdawilahSejak lama masyarakat islam Indonesia mengenal istilah Kitab Kuning. Namun, sekalipun akrab dengan istilah itu, sebagian besar umat islam Indonesia pada kenyataan nya belum mengakrabi isinya, bahkan membacanya pun masih sulit. Padahal, kitab kitab karya peninggalan para salaf itu menyimpan banyak informasi keilmuan yang sangat penting.
Berangkat dari kondisi itulah, Habib Abdul Qodir bin Ahmad Mauladdawilah, da’i muda kelahiran Malang 29 September 1981, sejak sekitar setahun silam menerbitkan sejumlah buku yang merupakan hasil terjemahannya dari kitab kitab karya para ulama salaf. Dengan karya-karya terjemahannya itu, ia berharap akan semakin banyak pelajar dan peminat ilmu-ilmu agama yang dapat mengetahui informasi yang terkandung di dalam kitab kitab peninggalan para ulama terdahulu itu.
Himmah Menyala-nyala
Setelah menamatkan pendidikan sekolah dasarnya di SD At-Taroqi Malang, tahun 1994 Habib Abdul Qodir masuk Pondok Pesantren Darut Tauhid, yang juga terletak di kota Malang, dibawah asuhan Ustadz Abdullah Awadh Abdun. Pilihan nya jatuh pada Pesantren Darut Tauhid, karena di pesantren itu terselenggara pendidikan agama dan pendidikan umum secara bersamaan.
Setelah sekitar 2 tahun mondok di Darut Tauhid, ia masuk PIQ (Pesantren Ilmu AlQuran), Malang, asuhan K.H. Bashori Alwi, juga selama sekitar dua tahun. Ia dekat dengan Ustadz Luthfi Bashori, salah seorang pengajar di PIQ yang juga putra Kiyai Bashori Alwi, pengasuh PIQ. Dari kedekatan nya itu pula ia mulai tertarik untuk melanjutkan pelajaran di Arab Saudi, Pesantren Sayyid Muhammad Al-Maliki. Ustadz Luthfi Bashori sendiri adalah salah seorang lulusan Pesantren Al-Maliki.
Setelah 2 tahun di PIQ, ia mulai mempersiapkan diri untuk melanjutkan pelajarannya di Pesantren Al-Maliki, mengurus surat surat, perizinan, dan segala sesuatunya. Rupanya, proses pengurusan yang telah memakan waktu cukup lama itu tidak kunjung selesai. Ia khawatir, himmahnya yang sedang memuncak akan luntur. Maka mulailah ia mencari negara tujuan alternatif. Pilihannya jatuh pada Hadhramaut, di Pesantren Darul Musthafa.
Namun orangtua nya justru mengingatkan bahwa kondisi di Hadhramaut itu tidak senyaman Saudi. Fasilitas kota, keamanan wilayah, dan sebagainya, masih sangat minim. Tapi tekadnya telah meneguhkan kakinya untuk terus melangkah menuju Hadhramaut. Semangatnya untuk menimba ilmu di luar negeri memang sedang menyala nyala. Apalagi ternyata proses pengurusan perizinan dan sebagainya cukup mudah, tidak bertele tele. Setelah segala sesuatu yang diperlukan selesai dipersiapkan, terbanglah Habib Abdul Qodir ke Hadhramaut.
Delapan Tahun di Darul Musthafa

Sesampainya di Darul Musthafa, pertama kali ia duduk di Halaqah Syaikh Muhammad Al-Ahdal. Tapi baru saja beberapa hari berselang, Habib Umar bin Hafidz membuka halaqah baru yang diperuntukkan bagi murid murid baru. Melihat hal itu, ia langsung berinisiatif pindah ke halaqah Habib Umar, sekalipun pelajaran di halaqah itu dimulai dari dasar sekali, sedangkan ia sendiri sebenarnya telah memiliki sedikit bekal dari yang telah ia dapat sewaktu mondok di Darut Tauhid dan PIQ, Malang. Rupanya ia sendiri berpandangan, sewaktu berada di Tarim, ia akan mulai segala sesuatunya dari nol lagi.
Habib Abdul Qodir bin Ahmad Mauladdawilah bersama habib Muhammad Syahab dan habib Hud Albagir Alathos
Di halaqah Habib Umar, ia mulai dengan mengikuti pelajaran dari kitab Adz-Dzakhirah al-Musyarrafah, kitab susunan Habib Umar sendiri. Meningkat setelah itu, ia mengikuti pelajaran dengan membaca kitab Nailurraja’ bersama Ustadz Idrus Assegaf, yang berasal dari Bangil. Setelah ia mengikuti kajian kitab Muqaddimah Hadhramiyyah di pagi harinya, sementara di malam harinya bersama dengan Habib Umar membaca kitab Matn Abi Syuja’. Bila Habib Umar berhalangan hadir dalam tempo waktu yang agak panjang, Syaikh Umar bin Husein Al-Khathib menggantikannya mengajar.
Bersama Syaikh Umar, bukan hanya kitab Abi Syuja’ yang dibaca, melainkan juga kitabMuqaddimah Hadhramiyyah. Sehingga pada saat itu ia mengikuti kajian satu kitab (Muqaddimah Hadhramiyyah) dal
am dua bimbingan guru yang berbeda. Di akhir pembacaan kitab Muqaddimah Hadhramiyyah bersama Syaikh Umar Al-Khathib, Habib Umar datang lagi ditengah tengah muridnya di Darul Mushthafa. Akhirnya, pembacaan kitab Muqaddimah Hadhramiyyah pada bagian bagian akhirnya ditutup oleh Habîb Umar sendiri. Setelah mengkhatamkan kitab Muqaddimah Hadhramiyyah, pelajaran nya dilanjutkan dengan mengikuti pembacaan kitab Yaqut an-Nafis , bersama Habîb Umar.
Disamping pelajaran pelajaran di Darul Mushthafa, ia juga mengikuti kajian kitab An-Nashaih ad-Diniyyah bersama Habib Abdullah bin Muhammad Syihab. Di Darul Mushthafa ia juga menghafalkan Al-Quran, tapi tidak seluruhnya, “hanya empat juz pertama dan tiga juz terakhir, dari 30 juz yang ada dalam Al-Quran.
Sementara itu, setelah menyelesaikan Yaqut an-Nafis, ia melanjutkannya dengan membaca kitabUmdah bersama Syaikh Salim bin Abu Bakar Al-Khatib, ulama anggota majelis ifta’ (para mufti) di kota Tarim – setiap hari selasa pukul 10 pagi para ulama besar setingkat mufti di Hadhramaut berkumpul di jalsatul ifta’ (majelis fatwa)
untuk membicarakan berbagai masalah keagamaan, hingga pukul 12 siang. Pembacaan Umdahditutup pada bagian akhirnya oleh Habib Muhammad bin Smith.
Setelah kitab Umdah selesai dibaca, barulah ia masuk pada pelajaran di kitab Minhaj ath-Thalibin. Kitab ini menjadi kitab yang menandai akhir pelajaran dalam kurikulum pelajaran seorang santri di Darul Mushthafa. Saat itu ia mengikuti pelajaran kitab bersama Habib Masyhur bin Hafidz (kakak Habib Umar bin Hafidz) dan Syaikh Salim bin Abu Bakar Al-Khathib. Demikianlah hari demi hari ia lewati dengan mempelajari ilmu ilmu agama di Darul Mushthafa, dibawah bimbingan Habib Umar bin Hafidz. Tak terasa waktu sudah berjalan empat tahun lamanya. Kitab Minhaj pun telah ia khatamkan.
Habib Abdul Qodir bin Ahmad Maula addawilahRupanya, waktu empat tahun di Hadhramaut masih terasa kurang bagi Habib Abdul Qodir. Setelah kurikulum pelajaran di Darul Mushthafa telah ia rampungkan, ia masih berniat untuk melanjutkan pelajarannya lagi. Habib Abdul Qodir termasuk pelajar yang beruntung. Bila kebanyakan pelajar yang masuk Darul Mushthafa akan segera pulang dalam tempo empat tahun, Habib Abdul Qodir baru pulang setelah delapan tahun berada di Darul Mushthafa. Bukan karena tidak naik kelas tentunya, tapi karena setelah merampungkan kurikulum standar empat tahun di Darul Mushthafa, ia langsung melanjutkannya ke kelas takhassus (penjurusan di kajian bidang disiplin ilmu agama tertentu). Saat itu, ia mengambil takhassus di bidang tarikh.
”Saya ingin mengetahui lebih jauh perihal kisah orang orang dulu dengan berbagai peristiwanya secara mendetail,” ujar Habib Abdul Qodir menyampaikan alasannya mengapa ia memilih takhassus di bidang tarikh. Diantara kitab yang ia baca dalam kelas takhassus ini adalah kitabTarikhul Khulafa’ , bersama Ustadz Abdullah Ali, yang juga sekretaris Habib Umar di Darul Mushthafa, dan kitab Sirah Halabiyah, bersama Habib Muhammad bin Smith dan Syaikh Salim Bahreisy.
Keberuntungan lain darinya adalah karena pada periode tahun 2003 hingga 2006, ia ditunjuk sebagai koordinator santri Indonesia di Darul Mushthafa, sehingga ia sering berjumpa dan berbincang bincang langsung dengan Habib Umar, untuk menyampaikan laporan atau bila sewaktu waktu dipanggil oleh Habib Umar bila ada masalah masalah yang perlu disampaikan. Pada periode kepemimpinannya itu, ia juga menghidupkan kembali majalah Anwarul Ma’rifah, yang sudah lama tidak terbit, majalah yang penerbitannya dikoordinasikan oleh para santri Darul Mushthafa. Habib Umar sendiri terlihat senang atas hidupnya kembali majalah tersebut.
Walimah Nikah di Hadhramaut
Tahun 2005, timbul keinginannya untuk menikah. Maka iapun meminta orangtua nya untuk mencarikan istri baginya. Ternyata jodohnya bukan orang jauh, melainkan sepupunya sendiri, yang pada saat itu tinggal di Uni Emirat Arab (UEA). Tanpa melewati proses yang memakan waktu lama, iapun melangsungkan aqid (aqd) dengan diwakili oleh salah seorang sepupunya yang juga ada di UEA. Setelah aqid, ia menemui Habib Umar dan menyampaikan keinginan bahwa, sebelum kepulangannya dari Hadhramaut, ia ingin bertabarruk kepada sang guru. Ia ingin, walimah atas pernikahannya dilangsungkan bersamaan dengan walimah yang diselenggarakan Habib Umar atas pernikahan Habib Salim, putera tertua Habib Umar. Singkat cerita, keinginan itu disambut baik oleh Habib Umar.
Betapa gembira hati Habib Abdul Qodir dengan respon positif dari Habib Umar tersebut. Betapa tidak, dengan demikian tentunya ia juga akan beroleh begitu banyak keberkahan dan doa yang akan disampaikan oleh para tamu dari kalangan ulama dan orang orang shalih yang turut menghadiri walimah pernikahan nya yang diselenggarakan bersama sama dengan walimah pernikahan putera Habib Umar. Diantara kenangan yang tak terlupakan adalah saat ia dan para pengantin lelaki lainnya , yang ternyata jumlah yang menikah hingga delapan pasangan, diarak bersama para penabuh Hadhrah Assegaf, sebagaimana kebiasaan yang ada di Hadhramaut sanâ.
Beberapa waktu kemudian, tibalah saat hari kepergian Habib Abdul Qodir dari Hadhramaut. Delapan tahun sudah ia tinggal dalam lingkungan Darul Mushthafa, Hadhramaut. Saat itu, seluruh teman seangkatannya sudah pulang semua. Sebelum ia pulang, seperti halnya seorang murid kepada gurunya, ia menemui Habib Umar untuk berpamitan meninggalkan Darul Mushthafa. Habib Umar merestui kepergiannya, seraya memakaikan imamah kepadanya (ilbas) sebagai pertanda restu dan ijazah atas semua yang telah diajarkan Habib Umar kepadanya.
Sebelum berpisah, Habib Umar berpesan kepadanya agar selalu menjaga persaudaraan dengan sesama ikhwan alumni Darul Mushthafa, dimanapun adanya. Pesannya yang lain agar selalu menata hati, tidak boleh memiliki rasa iri kepada siapapun, apalagi kepada teman yang tengah dikaruniai kenikmatan dari Allâh, dan harus tetap saling membantu dalam kondisi apapun. Terakhir, Habib Umar mengingatkan, jangan sampai melupakan membaca dzikir dzikir nabawi yang terhimpun dalam kitab Khulashah al-Madad , susunan Habib Umar sendiri. Di Hadhramaut, Habib Abdul Qodir sendiri sebenarnya sangat kerasan. ”Mungkin kalau tidak karena ingin menikah, saya masih tinggal disana beberapa tahun lagi.” katanya.
Mulai Membuahkan Karya
Habib Abdul Qodir Mauladdawilah & Majelis ta'lim wal maulid Arridwan MalangDari Hadhramaut, ia tidak langsung pulang ke Indonesia, tapi singgah dulu di UEA, karena sang istri ada disana. Di UEA ia sempat tinggal setahun lebih. Selama di UEA, ia juga melazimi majelis majelis Habib Ali al-Jufri, ulama muda berprestasi, yang juga murid Habîb Umar bin Hafidz. Meski masih terbilang muda usia, karena keilmuannya, Habib Ali al-Jufri sendiri saat itu sudah menjabat ketua majelis ulama di UEA.
Setelah beberapa lamanya tinggal di UEA, iapun pulang ke tanah kelahirannya, Indonesia, tepatnya di kota Malang. Di kota Malang inilah ia dibesarkan dibawah asuhan Habib Muhammad Bagir bin Shaleh Mauladdawilah, ayah angkatnya. Habib Bagir, panggilan akrab Habib Muhammad Bagir bin Shaleh Mauladdawilah, masih terhitung famili dekat dengan Habib Abdul Qodir. Istri Habib Bagir, yaitu Ustadzah Hikmah binti Salim Mauladdawilah, adalah kakak ayah Habib Abdul Qodir, yaitu Habib Ahmad bin Salim Mauladdawilah.
Habib Bagir, yang dikenal sebagai sesepuh keluarga Mauladdawilah di Indonesia pada saat ini, dulu mempunyai seorang anak yang bernama Ja’far Shadiq. Namun, umurnya tidak panjang. Sang anak segera dipanggil Allâh di usianya yang masih sangat muda. Maka kemudian Habib Bagir mengasuh Habib Abdul Qodir dan menganggapnya seperti anak sendiri. Kasihsayang Habib Bagir sepenuhnya ditumpahkan kepada Habib Abdul Qodir. Sebaliknya, Habib Abdul Qodir juga sepenuhnya menyayangi dan mencintai Habib Bagir. Hingga, ketika memiliki anak yang pertama pada bulan desember 2008 silam, ia menamakannya Muhammad Bagir, sama dengan nama ayah angkat yang sangat dicintainya itu.
Di kota Malang, ia mulai mengisi waktunya dengan mengajarkan ilmu yang didapatnya, disejumlah majelis ta’lim. Hari rabu dan sabtu pagi, ia mengajar di Majelis Riyadhus Shalihin. Tiap selasa sore dua minggu sekali ia mengajar disebuah majelis di daerah pelosok kota Malang. Sementara hari selasa pagi ia duduk di majelis Hadhrah Basaudan di rumah ayahnya, Habib Bagir. Ijazah pembacaan Hadhrah Basaudan itu ia dapat dari Habib Masyhur, yang beberapa tahun silam datang ke Indonesia.
Mengenai karya karya terjemahannya, itu bermula dari majelis yang diasuh oleh ibunya, Ustadzah Hikmah. Pada majelis Ustadzah Hikmah, ia sempat menuliskan terjemahan untuk salah satu kitab yang dibaca dalam majelis itu. Rupanya responsnya cukup positif. Ia pun memberanikan diri untuk mencetaknya sebanyak 1000 eksemplar. Diluar dugaan, jumlah itu ternyata masih kurang. Banyak permintaan yang datang kepadanya untuk mencetak ulang buku terjemahannya itu, yaitu terjemah kitab Muqaddimah Hadhramiyah. Maka iapun mencetaknya lagi hingga sebanyak 3000 eksemplar. Responsnya kembali menggembirakan. Berawal dari situ, sekitar pertengahan tahun kemarin, iapun memiliki penerbit sendiri. Penerbitnya lebih difokuskan pada penerbitan buku buku terjemahan karya para salaf.
Habib Abdul Qodir Mauladdawilah bersama habaibMeski baru berumur sekitar satu tahun, sekitar 10 buku telah dilemparnya ke pasaran, seperti terjemah Hadhrah Basaudan dan terjemah kitab Risalah Mudzakarah. Alhamdulilah, responsnya sangat bagus. Bersama dengan kawannya yang juga bernama sama dan dari satu kabilah yang sama, yaitu Habib Abdul Qodir bin Umar Mauladdawilah (penulis buku 17 Habaib Berpengaruh di Indonesia), ia juga sempat menulis dan menerbitkan buku yang mengungkap profil gurunya, Habib Umar bin Hafidz, yang diberinya judul Singa Podium.
Bulan Maulid kemarin, Ar-Raudhah, nama penerbit yang didirikannya, sengaja menerbitkan sebuah buku yang berisi sejarah hidup Rasulullah Saw, tapi dalam format seperti biodata keluarga. Lagi lagi buku bukunya itu mendapat sambutan yang hangat. Mengenai aktivitasnya yang saat ini banyak menerjemahkan kitab kitab kuning tersebut, ia berpandangan, sudah saatnya manfaat dari kitab kitab juga dapat dibaca oleh masyarakat luas lewat bahasa yang mudah mereka fahami.
Bilâ harus menunggu mereka dapat menguasai bahasa Arab, kapan (sebagian besar) umat islam di Indonesia ini bisa mendapatkan manfaat dari kitab kitab yang penuh manfaat itu? Padahal, menurutnya, sebenarnya banyak sekali umat islam di Indonesia yang ingin mengetahui isi kitab kitab karya para salaf itu. Dan apa yang dilakukannya saat ini tak lain sebagai salah satu kiatnya untuk menjembatani rasa keingintahuan mereka atas isi kitab kitab para ulama salaf.

0 komentar :

Posting Komentar

Jangan Lupa Komennya